Karyawan divisi pajak, bersiaplah angkat koper

Anda bekerja di bagian divisi pajak? Siap-siaplah angkat koper dan cari
pekerjaan lain di luar bidang pajak. Perusahaan tidak bisa lagi
memanfaatkan tenaga Anda untuk menangani urusan pajak karena Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) hanya bersedia menerima bos besar atau konsultan
pajak. Bukan Anda.

Ini sama sekali bukan joke. Beberapa KPP di wilayah Jakarta sudah
tegas-tegas menolak berurusan dengan karyawan perusahaan. Mereka hanya
bersedia bertemu dengan direksi, atau konsultan pajak yang mendapat
kuasa dari direksi perusahaan.

Akan tetapi, jangan salahkan petugas atau kepala KPP. Mereka hanya anak
buah yang taat kepada pimpinan. Bagi aparat pajak yang ada di lapangan,
bekerja tanpa melanggar peraturan-apa pun bunyi peraturan
tersebut-adalah bagian dari kode etik yang harus ditaati pada era kantor
pajak modern.

Muaranya adalah Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 22/ PMK.03/2008 tentang
Persyaratan serta pelaksanaan hak dan kewajiban seorang kuasa, yang
ditandatangani Sri Mulyani Indrawati 6 Februari lalu. Permenkeu ini
merupakan amanat Pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 80/2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan UU KUP 2007.

Berubah-ubah

Entah karena lobi asosiasi tertentu atau karena pemerintah memang tidak
punya pendirian, yang pasti ketentuan mengenai kuasa wajib pajak dalam
sejarahnya selalu berubah-ubah.

Darussalam dan Danny Septriadi dalam artikelnya Catatan tentang
ketentuan kuasa wajib pajak, sejak UU KUP 2000 hingga UU KUP 2007, yang
dimuat di sebuah majalah perpajakan, edisi 04 Februari 2008, mencatat
perkembangan regulasi mengenai kuasa wajib pajak.

Pertama, era sebelum 13 Oktober 2005. UU KUP 2000 menyatakan, orang
pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa
khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban menurut ketentuan dan
perundang-undangan perpajakan. Seorang kuasa harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Melalui Kepmenkeu No. 576/KMK.04/2000 menyebutkan seorang kuasa harus
menguasai ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan. Ijasah formal
pendidikan di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan
negeri atau swasta dengan status disamakan dengan negeri, dapat menjadi
kuasa wajib pajak.

Selain melalui jalur pendidikan formal, kuasa juga bisa berasal dari
jalur brevet pajak yang diterbitkan Ditjen Pajak. Jalur ini dibagi dua,
yaitu mereka yang lulus ujian sertifikasi yang dilakukan oleh Ikatan
Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) atau pensiunan pegawai pajak.

Kedua, setelah 13 Oktober 20005 ditandai dengan terbitnya Permenkeu No.
97/PMK.03/2005. Menteri Keuangan hanya mengakui kuasa wajib pajak yang
datang dari jalur brevet pajak, sementara jalur pendidikan formal
dipinggirkan.

Repotnya, aturan itu diberlakukan secara retroaktif. Lulusan pendidikan
formal yang sebelumnya boleh menjadi kuasa wajib pajak, sejak 13 Oktober
2005 tidak bisa lagi menjadi kuasa.

Ketiga, era PP No. 80/2007. Melalui PP ini, lulusan dari jalur
pendidikan formal dapat kembali berprofesi sebagai kuasa WP. Syaratnya
mereka minimal berijasah D3 di bidang perpajakan yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan negeri atau swasta dengan akreditasi A.

Melampaui PP

Lagi-lagi, pemerintah kembali berubah. Permenkeu No. 22/PMK.03/2008
membatasi hak-hak kuasa non-konsultan. Seorang yang bukan konsultan
pajak termasuk karyawan wajib pajak hanya dapat menerima kuasa dari:

Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha bebas,

Wajib Pajak pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp1,8 miliar
dalam satu tahun, atau

Wajib pajak badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 miliar
dalam satu tahun.

Lulusan pendidikan formal memang masih boleh berprofesi sebagai kuasa
WP, meski dengan sejumlah pembatasan. Namun, yang jadi soal adalah,
mengapa Menteri Keuangan membatasi karyawan untuk berurusan dengan
kantor pajak? Bukankah karyawan tersebut direkrut dan digaji memang
untuk membantu perusahaan?

Membatasi hak-hak karyawan sama dengan membatasi hak-hak perusahaan atau
hak wajib pajak.

Jika mereka yang berstatus karyawan tidak boleh berhadap-hadapan dengan
kantor pajak, jika omzet perusahaan sudah di atas Rp2,4 miliar, lalu
untuk apa perusahaan harus membentuk divisi atau bagian pajak dalam
organisasinya?

Permenkeu ini agaknya menggiring agar perusahaan menggunakan jasa
konsultan pajak, yang sebagian besar isinya adalah pensiunan pegawai
pajak.

Tampaknya, Menkeu lupa bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 80/2007 yang
bisa diatur lebih lanjut adalah mengenai syarat serta hak dan kewajiban
seorang konsultan pajak, bukan seorang kuasa wajib pajak.

Padahal, konsultan pajak dan kuasa wajib pajak adalah dua ‘makhluk’ yang
jelas-jelas berbeda. (parwito@bisnis.co.id)

Oleh Parwito

Wartawan Bisnis Indonesia

bisnis.com

2 Komentar

Filed under pajak

2 responses to “Karyawan divisi pajak, bersiaplah angkat koper

  1. Knapa ya kalimantan lama banget modern nya ???

  2. johan teddy

    Proses modernisasi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Coba anda baca tulisan saya yang berjudul kekacauan transisi kantor pelayanan pajak. hal-hal tersebut adalah yang saya alami sendiri. belum lagi yang saya tidak ketahui. Bahkan sebaiknya sebelum KPP dimodernisasi ada baiknya diberikan masa trial dahulu dan melihat respon dari Wajib Pajak.
    Proses modernisasi KPP membutuhkan dana yang tidak sedikit. Mulai dari gaji para Account Representative (AR) yang berbeda dengan KPP Paripurna, Renovasi Gedung KPP modern (minimal TPT), peralihan pegawai pajak yang berasal dari KPP PBB dan Rikpa (jika disatukan mungkin jumlahnya akan sangat banyak sekali). Dan yang paling penting lagi adalah Transformasi Budaya. Jika budaya pegawai pajak antara di KPP paripurna dan KPP modern ternyata masih sama saja, ya mendingan jangan dimodernisasikan deh. nambahin cape aja

Tinggalkan Balasan ke viviet Batalkan balasan